Beranda | Artikel
Hadits Arbain ke 14 - Hadits Tentang Tidak Halalnya Darah Seorang Muslim
Selasa, 28 April 2020

Bersama Pemateri :
Ustadz Anas Burhanuddin

Hadits Arbain ke 14 – Hadits Tentang Tidak Halalnya Darah Seorang Muslim merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Anas Burhanuddin, M.A. dalam pembahasan Al-Arba’in An-Nawawiyah (الأربعون النووية) atau kitab Hadits Arbain Nawawi Karya Imam Nawawi Rahimahullahu Ta’ala. Kajian ini disampaikan pada 15 Rajab 1441 H / 10 Maret 2020 M.

Status Program Kajian Kitab Hadits Arbain Nawawi

Status program kajian Hadits Arbain Nawawi: AKTIF. Mari simak program kajian ilmiah ini di Radio Rodja 756AM dan Rodja TV setiap Selasa sore pekan ke-2 dan pekan ke-4, pukul 16:30 - 18:00 WIB.

Download juga kajian sebelumnya: Hadits Arbain Ke 13 – Hadits Tentang Cinta Dan Kesempurnaan Iman

Ceramah Agama Islam Tentang Hadits Arbain ke 14 – Hadits Tentang Tidak Halalnya Darah Seorang Muslim

Pada pertemuan yang terakhir telah kita bahas bersama hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidaklah beriman seseorang diantara kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.” Ini adalah sebuah hadits yang menjelaskan kepada kita bahwasannya iman kita tidak sempurna, yang dinafikan dalam hadits ini adalah kesempurnaan iman yang wajib. Artinya kalau kita belum sampai derajat itu berarti kita masih kurang, iman kita masih belum sempurna, masih kurang, bahkan kita masih berdosa. Dan yang dimaksud bukanlah membagi apa yang kita miliki, memberikan kepada saudara kita apa yang Allah berikan kepada kita, tapi yang dimaksud adalah amalan hati. Bahwasannya ketika kita memiliki suatu nikmat akhirat atau di dunia, maka hendaknya kita juga berharap saudara kita sesama Muslim juga bisa memiliki nikmat tersebut. Dan ini yang dituntut dari kita.

Adapun hari ini maka insyaAllah kita akan mempelajari hadits yang selanjutnya. Yaitu hadits nomor 14 yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu. Imam An-Nawawi mengatakan:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَحِلُّ دَمُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ المُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ

“Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasannya beliau berkata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: tidak halal darah seorang pribadi muslim kecuali dengan tiga perkara; yang pertama adalah orang yang sudah menikah kemudian berzina, yang kedua adalah jiwa dengan jiwa, pembunuhan yang dilakukan dengan syarat tertentu, kemudian orang yang meninggalkan agamanya dan meninggalkan jamaah umat Islam.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Tentang Abdullah bin Mas’ud

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu beliau adalah salah satu sahabat senior dan ikon keilmuan dalam Islam. Salah seorang fuqaha sahabat dan beliau memiliki hubungan yang erat dengan Al-Qur’an. Dimana disebut dalam sirah beliau bahwasannya beliau adalah orang yang pertama kali berterus terang dengan Al-Qur’an. Pertama kali membacakan ayat Al-Qur’an secara terang-terangan di kota Mekah. Dan tentang bacaan beliau, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَقْرَأَ الْقُرْآنَ غَضًّا كَمَا أُنْزِلَ فَلْيَقْرَأْ قِرَاءَةَ ابْنِ أُمِّ عَبْدٍ

“Barangsiapa yang ingin membaca Al-Qur’an yang segar sebagaimana saat diturunkan, maka hendaklah dia membacanya dengan bacaan Ibnu Ummi ‘Abd.” Yang beliau maksud adalah Abdullah bin Mas’ud ini.

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu wafat pada tahun 32 Hijriyah setelah sebelumnya beliau sempat ikut hijrah ke Habasyah dan juga ikut Hijrah ke Kota Madinah. Maka itulah sekelumit tentang sirah dan manaqib Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu.

Dan dalam hadits ini beliau meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak halal darah seorang pribadi muslim kecuali dengan salah satu dari tiga perkara: berzina dalam keadaan sudah menikah, membunuh orang lain dan yang ketiga adalah meninggalkan agamanya dan berpisah dari jamaah umat Islam.”

Hadits ini memiliki hubungan yang erat dengan hadits nomor 8 dalam rangkaian Arbain An-Nawawiyah, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكاَةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَـهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ

“Aku telah diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwasannya tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah hamba dan utusanNya. Dan mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat, maka kalau mereka lakukan itu berarti mereka telah menjaga dariku darah dan harta mereka kecuali dengan hak Islam dan hisab mereka ada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Bukhari Muslim)

Lihat: Hadits Arbain Ke 8 – Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Ini adalah hadits ke-8 dari rangkaian Arbain Nawawiyah yang pernah kita kaji dahulu bersama. Dan hadits ini adalah salah satu hadits yang menafsirkan hadits tersebut. Jadi di sana Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwasanya orang kalau sudah masuk Islam, sudah bersyahadat  لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّٰهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ ٱللَّٰهِ‎ (Laa Ilaaha Illallah Muhammadurrasulullah), sudah menegakkan shalat, menunaikan zakat, maka mereka sudah aman. Darah mereka aman, harta mereka aman, tidak bisa diutak-atik kecuali dengan hak Islam, kecuali kalau ada sesuatu yang menghalalkan darah mereka atau sesuatu yang membuat harta mereka halal. Penafsiran dari Haqqul Islam adalah hadits ini.

Darah seorang pribadi muslim tidak halal

Di sini Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwasanya darah seorang pribadi muslim tidak halal. Artinya pada dasarnya haram. Harta kita semuanya haram, darah kita semuanya haram dan terjaga. Apa yang bisa membuat darah kita dihalalkan dalam Islam? Di antaranya adalah tiga perkara ini. Tidak halal darah seorang pribadi muslim kecuali dengan salah satu dari tiga perkara. Kalau kita melakukan salah satu dari tiga perkara ini, maka baru saat itu secara hukum Islam kita boleh untuk ditumpahkan darahnya.

1. Orang yang berzina dalam keadaan sudah pernah menikah

Dalam Islam hukumannya adalah dirajam. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ نَكَالًا مِنَ اللهِ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Dan seorang pria yang sudah tua, seorang wanita yang sudah tua (maksudnya adalah yang sudah pernah menikah) kalau keduanya berzina, maka rajamlah keduanya sebagai hukuman dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Ini adalah salah satu ayat yang pernah ada dalam Al-Qur’an. Tapi kemudian ayat ini dihapuskan tilawahnya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Artinya redaksi ayat ini sudah tidak lagi dalam Al-Qur’an. Awalnya ada kemudian dihapuskan. Dia termasuk bagian dari surat Al-Ahzab yang ayat ini dahulu disebutkan panjangnya seperti surat Al-Baqarah. Namun ada banyak redaksinya yang dihapuskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentunya dengan kebijaksanaan kehendak dariNya. Allah ingin seperti itu.

Jadi redaksi ayat ini sudah dihapus, tidak ada lagi kalau kita mencari di surat Al-Azab, kita tidak akan temukan ayat ini. Tapi hukumnya masih berlaku sampai sekarang.

Maka dalam agama kita, kalau ada orang yang berzina sementara dia sudah pernah menikah, maka hukumannya adalah dirajam, dilempar dengan batu sampai meninggal. Itu adalah aturan Islam. Yaitu ketika seseorang sudah melakukan hal ini dalam keadaan dia sudah pernah menikah, kemudian perkaranya sudah diangkat kepada Waliyul ‘Amr (pemimpin umat Islam), disitu wajib bagi pemimpin Muslim untuk menegakkan hukuman atas orang yang telah berzina ini.

Adapun kalau kita diuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebagian maksiat dan dosa besar ini kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menutup aib kita, maka hendaknya kita menutup diri dengan penutupan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ

“Hendaklah dia menutup diri dengan penutupan yang telah diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Dan demikianlah, kita banyak dosa, tapi Allah menutup dosa-dosa kita sehingga orang tidak mengetahui apa yang kita lakukan. Orang lain tidak mengetahui maksiat-maksiat kita dalam keadaan kita tersembunyi. Maka kalau Allah menguji kita dengan jatuh dalam suatu maksiat atau maksiat besar, dalam perkara keji seperti zina seperti ini kemudian Allah tutup itu, maka hendaklah kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tidak membongkar aib kita sendiri. Tapi kita memanfaatkan penutupan yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Biar semuanya ditutupi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka kita jangan bongkar. Kemudian setelah itu kita bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Lihat juga: Nasihat Untuk Bersegera Dalam Taubat Nasuha

Adapun kalau kita dilaporkan oleh orang lain, ada yang melaporkan dna bersaksi kita sudah berzina, Na’udzubillahimindzalik kemudian urusannya sudah sampai kepada Waliyul ‘Amr atau kita sendiri yang melaporkan/mengaku telah berbuat demikian. Kemudian perkaranya sudah sampai kepada Waliyul ‘Amr, maka wajib bagi Waliyul ‘Amr untuk menegakkan hukuman ini.

Ditegakkan oleh Waliyul ‘Amr

Maka hal ini menunjukkan bahwasannya objek dari perintah ini adalah para Waliyul ‘Amr. Ini adalah hukum yang merupakan wewenang pemerintah. Ini adalah hukum yang merupakan domainnya pemerintah. Tidak boleh bagi umat Islam untuk main hakim sendiri. Mengklaim ini adalah aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian dia tegakkan terserah dia tanpa melalui prosedur yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Karena kalau sedemikian rupa, maka akan terjadi banyak kerusakan.

Maka penegakan hudud, qishash, ini yang berwenang adalah Waliyul ‘Amr agar tidak terjadi kekacauan. Kita tidak perlu untuk melakukan sesuatu yang bukan menjadi wewenang kita. Ini termasuk penafsiran dari:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ

“Diantara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak penting bagi dia (termasuk apa-apa yang bukan menjadi wewenang dia).” Hadits no 12 yang baru saja kita pelajari juga.

Maka -sekali lagi- perintah dalam ayat ini diberikan kepada para Waliyul ‘Amr. Jadi kapan mereka mendapatkan kasus seperti ini, ada laporan, ada saksi, ada yang mengaku berbuat zina dalam keadaan sudah pernah menikah, maka hukumannya adalah dirajam dalam Islam sampai dia meninggal.

Dan ini yang dipraktikkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam beberapa kasus yang terjadi pada zaman beliau. Diantaranya dalam kasus Al-Ghamidiyah. Seorang wanita dari kabilah Ghamid yang mengaku telah berzina. Hadits ini menunjukkan bahwasannya yang terbaik adalah menutup diri dengan penutupan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak kita bongkar. Tapi kalau itu sudah terjadi, orang bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dia tahunya dengan mengaku, padahal yang dituntut bukan seperti itu. Tapi kalau seandainya perkaranya sudah sampai kepada Waliyul ‘Amr, maka wajib bagi Waliyul ‘Amr untuk menegakkan hukuman ini dan mereka juga akan dihadapkan pada hidab dihadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka akan ditanya apakah mereka sudah menegakkan syariat ini di atas bumi yang mereka kuasai atau belum?

Kemudian juga dipraktikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam kasus Ma’iz bin Malik Al-Aslami Radhiyallahu ‘Anhu dan keduanya adalah sahabat yang ini menunjukkan bahwasannya para sahabat tidak maksum. Mereka kadang-kadang jatuh dalam maksiat, seperti kita juga. Mereka kadang-kadang jatuh dalam dosa besar seperti kita juga, mereka tidak maksum namun kedudukan mereka sebagai para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah sebuah kedudukan yang sangat tinggi, pilihan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang membuat mereka semua disebut sebagai orang-orang yang adil yang tidak boleh kita cela. Meskipun sebagian mereka jatuh ke dalam maksiat-maksiat termasuk maksiat-maksiat besar seperti zina.

Jadi inilah hukum Islam itu. Inilah hukum yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita sebagai umat Islam. Dan juga telah dipraktikkan langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam beberapa kasus yang terjadi pada zaman beliau. Maka dalam agama kita, orang yang berzina dalam keadaan sudah pernah menikah, maka hukumannya adalah dirajam.

Adapun kalau seorang muslim berzina dalam keadaan belum pernah menikah, maka yang berlaku adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ

Seorang wanita yang berzina dan seorang laki-laki yang berzina hendaklah kalian cambuk masing-masing dari mereka dengan 100 cambukan.” (QS. An-Nur[24]: 2)

Dibedakan, yang sudah pernah menikah dirajam, yang belum pernah menikah hukumnya adalah dicambuk. Mana yang lebih keras? Tentunya dirajam lebih keras. Karena rajam tersebut dilakukan sampai si pelaku zina meninggal. Dan agama kita membedakan demikian karena memang faktor pendorongnya berbeda. Orang yang berzina dalam keadaan belum pernah menikah, tentunya ini tetap dosa besar dan tidak bisa ditolerir. Tapi pada tingkat tertentu bisa dimaklumi. Karena mungkin dia jiwa mudanya masih bergelora, dia belum pernah merasakan kenikmatan berhubungan dengan lawan jenis, kemudia dia juga tidak punya pasangan yang bisa menjaga matanya, menjaga kemaluannya dari hal-hal yang haram, maka ketika dia jatuh dalam maksiat ini pada tingkat tertentu dia dimaklumi (tidak dimaklumi). Dibedakan hukumannya dengan mereka sudah pernah merasakan kenikmatan tersebut atau bahkan di rumah dia memiliki pasangan yang halal, tapi kok masih nekat berzina juga.

Maka Islam membedakan antara keduanya. Karena faktor yang mendorong orang untuk berbuat maksiat juga berbeda. Dan semakin besar dorongan untuk berbuat maksiat seperti yang terjadi pada orang yang masih muda, kemudian dia bisa bertahan untuk tidak jatuh dalam maksiat, maka semakin hebat orang tersebut di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan semakin ringan godaan untuk melakukan suatu dosa, semakin kecil drongan untuk melakukan suatu dosa kemudian ternyata orang tersebut masih jatuh juga dalam dosa itu, maka yang demikian ini juga semakin membuat hukumannya besar, dosanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala semakin besar dan juga hukumannya di dunia juga lebih berat daripada orang yang melakukan dosa dengan faktor pendorong yang lebih besar. Seperti anak-anak muda belum pernah menikah.

2. Melakukan pembunuhan

Hak Islam yang kedua yang menghalalkan darah seorang muslim adalah melakukan pembunuhan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ

Dan telah Kami putuskan di dalamnya (yaitu dalam Taurat untuk orang-orang Yahudi) bahwasanya jiwa itu dengan jiwa.” (QS. Al-Maidah[5]: 45)

Kalau ada orang yang membunuh suatu jiwa, maka hukumannya  adalah dia dibunuh. Ini makna dari ayat ini dan ini menunjukkan bahwasanya ini adalah syariat Nabi Musa ‘Alaihis Salam untuk umat beliau yaitu orang-orang Yahudi. Hukumannya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dibunuh. Dan hal ini ditegaskan juga oleh Islam. Islam tidak mengingkari hukum ini, tapi hukumannya adalah sama. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى

Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian untuk melakukan qishash pada orang-orang yang sudah meninggal.” (QS. Al-Baqarah[2]: 178)

Maksudnya dalam kasus pembunuhan dalam syarat tertentu yaitu kalau pembunuhan ini terjadi secara sengaja, ada niat untuk membunuh, kemudian juga dilakukan dengan alat yang orang bisa mati dengan alat itu. Adapun kalau pembunuhan yang terjadi secara tidak sengaja, orang ingin berburu di hutan kemudian senapannya mengenai seorang muslim misalnya, maka di sini tidak qishash. Atau orang sengaja menyerang orang lain tapi dia menggunakan alat yang tidak membunuh. Dia menggunakan alat yang tidak mematikan, misalnya hanya sepotong kayu dia pukulkan tapi ternyata meninggal. Maka ini juga tidak memenuhi persyaratan untuk ditegakkannya qishash.

Jadi yang dimaksud dengan qishash adalah kalau seorang muslim membunuh muslim yang lainnya dengan sengaja dan dengan alat yang mematikan. Kemudian ditambah satu lagi bahwasannya ahli waris orang yang terbunuh tidak mau memaafkan. Adapun kalau ahli warisnya memaafkan, maka hukumannya berpindah dari qishash menjadi membayar diyat. Demikian juga kalau seorang muslim membunuh orang lain dengan tidak sengaja atau menyerang orang tersebut tapi dengan alat yang tidak mematikan, ini juga tidak terjadi qishash, tapi yang terjadi adalah diyat sebagaimana telah di atur dalam agama kita.

Dan dari apa yang kita sampaikan di depan kita bisa simpulkan bahwasannya qishash adalah hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Allah turunkan untuk Nabi Musa ‘Alaihi Salam, bagi umat beliau orang-orang Yahudi, kemudian hal ini ditaqrir (dikuatkan) oleh Islam, jadi hukumnya sama antara syariat Nabi Musa dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu diwajibkannya qishash untuk kasus pembunuhan.

Dan karena ini adalah hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tentunya itu adalah hukum yang terbaik. Ini yang dipilihkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk orang-orang Yahudi, ini yang disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk kita umat Islam. Penegakan qishash di masyarakat kita. Dan ini sama dengan yang sebelumnya, domainnya adalah dominan pemerintah/Waliyul ‘Amr, tidak boleh orang melakukan main hakim sendiri dalam kasus-kasus seperti ini. Wewenangnya milik pemerintah.

Dan insyaAllah dengan penegakan syariat ini akan didapatkan kehidupan bernegara yang baik, akan didapatkan keseimbangan sosial yang bagus, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿١٧٩﴾

“Dan pada qishash ini terdapat kehidupan bagi kalian wahai orang-orang yang berakal agar kalian bertakwa.”

Jadi Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwasannya dibalik qishash ini ada kehidupan. Karena dengan mengorbankan satu orang yang nakal, yang dzalim kepada saudaranya dengan syarat-syarat yang telah kita sebutkan tadi itu, maka orang akan takut. Dan saat terjadi qishash ini di syariatkan agar disaksikan oleh orang lain, demikian juga dengan rajam disyariatkan agar dilakukan di depan khalayak. Sehingga orang-orang takut, saya kalau membunuh saya akan diperlakukan dengan cara yang sama, saya akan dibunuh, saya nggak mau itu. Sehingga orang berpikir untuk tidak membunuh, orang lebih hati-hati. Dan salah satu negara yang masih mempraktekkan hukum qishash ini adalah kerajaan Arab Saudi. Dan kita bisa menyaksikan qishash ini di sana dan juga buah dari qishash ini. Dimana akhirnya tercipta masyarakat yang aman, masyarakat yang relatif tidak banyak masalah, masyarakat yang relatif terjaga hak-hak manusia di sana, harta orang terjaga, jiwa orang terjaga, meskipun tentunya mereka tidak maksum. Masih terkadang ada pembunuhan, masih kadang-kadang ada pencuri, tapi intensitasnya sangat sedikit jika dibandingkan dengan negara-negara yang tidak menerapkan syariat Islam dan syariat yang telah diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ini adalah yang kedua, yaitu jiwa dengan jiwa, pembunuhan dibalas dengan pembunuhan.

3. Orang yang meninggalkan agamanya dan meninggalkan jamaahnya

Yang dimaksud orang yang murtad, pernah memeluk Islam kemudian dia meninggalkan Islam ini. Dalam agama kita orang yang seperti ini hukumnya adalah dibunuh. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits yang lain riwayat Al-Bukhari dan Muslim:

مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

“Barangsiapa yang mengganti agamanya maka hendaklah kalian bunuh dia.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Siapa yang disuruh membunuh? Waliyul ‘Amr/pemerintah. Jadi ini semuanya, penegakan hudud, penegakan qishash, ini adalah domain dan wewenang Waliyul ‘Amr, tidak boleh bagi umat Islam untuk main hakim sendiri dalam perkara-perkara seperti ini, hendaklah mereka menghormati hukum yang berlaku di negara mereka dan menyerahkan urusan seperti ini kepada Waliyul ‘Amr.

“Dan orang yang meninggalkan agamanya dan memisahkan diri dari Jamaah.” Jadi orang yang meninggalkan agamanya otomatis dia meninggalkan jamaah, tidak lagi jamaah bersama umat Islam yang lain. Dia sudah keluar dari agama ini. Dan kalau kita merenungi lebih dalam, tidaklah orang jatuh dalam kesalahan seperti ini kecuali jika dosanya sudah parah. Tidak mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala menyesatkan hambaNya dengan cara seperti ini kecuali kalau sebelumnya hambaNya sudah menyesatkan dirinya sendiri. Ada banyak dosa-dosa yang telah dia lakukan, ada banyak maksiat yang telah dilakukan sehingga akhirnya Allah hukum dia dengan keluar dari Islam. Karena Islam adalah nikmat yang paling besar, Islam adalah jaminan keselamatan kita di akhirat. Ini adalah sebuah nikmat yang tidak ada bandingannya dibanding nikmat yang lain. Maka kalau sampai kita kehilangan nikmat besar ini berarti kita sudah parah sekali, kita sudah jauh dari hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan itu semuanya karena dosa-dosa kita sendiri. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّـهُ قُلُوبَهُمْ

“Dan ketika mereka menyimpang, maka Allah buat hati mereka menyimpang.”

Jadi mereka dulu yang menyimpan, mereka dulu yang banyak berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian Allah simpangkan hati mereka. Kemudian sebagian dari mereka sampai keluar dari ajaran agama Islam yang pernah mereka rasakan nikmatnya, yang pernah mereka rasakan manisnya. Maka kalau ada seseorang yang pernah mengenyam nikmat Islam kemudian ditinggalkan nikmat itu dengan meninggalkan Islam, keluar dari ajaran agama ini, maka sungguh dia telah jatuh dalam sesuatu yang sangat parah. Dan pasti ada banyak hal-hal besar sebelum kejadian itu. Na’udzubillahimin dzalik.

Kita berdoa semoga kita bisa istiqomah di atas jalan Islam dan kalau sampai terjadi ada orang yang keluar dari Islam, maka inilah hukumannya dalam agama kita. Kita berbicara tentang hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Simak penjelasan selanjutnya pada menit ke-30:42

Download mp3 Ceramah Agama Islam Tentang Hadits Arbain ke 14 – Hadits Tentang Tidak Halalnya Darah Seorang Muslim

Lihat juga: Hadits Arbain Ke 1 – Innamal A’malu Binniyat


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/48378-hadits-arbain-ke-14-hadits-tentang-tidak-halalnya-darah-seorang-muslim/